Senin, Maret 10, 2008

PENOLAKAN PEMBENTUKAN MARKAS KOREM 161 NTT

PENOLAKAN PEMBENTUKAN MARKAS KOREM 161 WIRASAKTI DI NANGAPANDA KAB. ENDE, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR

Akhir Desember 2007 lalu, Danrem 161 Wirasakti Kupang Prop. NTT, berencana membangun markas Korem di Mezo, Desa Ndeturea, Kec. Nangapanda dengan alasan bahwa dibangunnya Korem/Batalyon di Flores adalah untuk mengantisipasi ancaman dari pihak asing (Timor Leste dan Australia), ancaman terhadap bencana alam dan ancaman teroris yang pada intinya untuk menjaga kedaulatan dan ketahanan Negara dari segala bentuk ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Pertimbangan selanjutnya adalah bahwa ke depan, Flores berada pada posisi strategis, baik dari sisi geografis, demografis maupun sisi sosial, namun hingga saat ini belum ada satuan setingkat batalyon. Selain itu, kehadiran Batalyon dinilai dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat, serta dapat membantu proses pembangunan dan peningkatan infrastruktur, khususnya di Kec. Nangapanda.

Namun ide pembentukan markas korem tersebut mendapat penolakan dari warga sekitar. Penolakan ini diawali oleh adanya insiden pengukuran tanah yang berlokasi di Mezo, Desa Ndeturea, Kec. Nangapanda oleh personil Kodim 1602 Ende dan personil Koramil Nangapanda bersama staf Kecamatan Nangapanda pada 28 Desember 2007 sekitar pukul 09.00 Wita tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya kepada para Mosalaki ( ketua adat ) dan warga. Oleh karena itu, Andreas Baju ( Ketua Suku Paumere ) bersama beberapa warga menghadang di lokasi pengukuran tanah sehingga kegiatan pengukuran tanah tidak jadi dilakukan. Upaya pengukuran tanah yang dilakukan oleh jajaran Kodim 1602 Ende didasarkan atas perintah Danrem 161 Wirasakti Kupang melalui Letkol. Inf. Muhamad Shokil (Dandim 1602 Ende), dimana Indra Hasan (asal Ujungpandang) atas nama pemilik tanah (M. Taher Gedu) telah menyerahkan tanahnya seluas 24 hektar untuk kepentingan TNI secara langsung kepada Kol. Inf. Arief Rahman (Danrem 161 Wirasakti Kupang) di Kupang.

Para warga adat yang diwakili oleh tetuanya yaitu Andreas Baju (Ketua Suku Paumere, Kec. Nangapanda) dan Yakobus Bhisa (Mosalaki dari Mbotu Mbari) mengatakan bahwa warga tidak akan menyerahkan sejengkal tanahnya kepada TNI untuk kepentingan pembangunan markas Korem/Batalyon karena: tanah tersebut merupakan tanah adat yang merupakan lahan garapan untuk kelangsungan hidup para warga sehingga tidak akan diperjualbelikan; tidak diterimanya rencana pembentukan Korem/Batlayon oleh warga karena tidak ada keterbukaan berupa sosialisasi oleh pihak Kodim 1602 Ende kepada warga; serta penilaian warga bahwa di wilayah tersebut dianggap aman dari ancaman dari luar maupun dari dalam dan perasaan ketakutan warga terhadap aparat TNI.

Yang menarik, Andreas Baju (Ketua Suku Paumere) adalah orang yang pernah memperdatakan tanah tersebut karena juga mengaku sebagai pemilik, tetapi pada tahun 1974, pengadilan Negeri Kupang memenangkan Mohammad Taher Gedu sebagai pemilik tanah. Keputusan PN tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang pada th 1980 dan di Tingkat Kasasi, Mahkamah Agung pada tahun 1982 juga menetapkan bahwa M. Taher Gedu sebagai pemilik sah, tetapi sampai sekarang belum pernah dilakukan eksekusi atas keputusan tsb.

Sedangkan dari kelompok-kelompok masyarakat lain misalnya Lembaga Kajian dan Advokasi Bebas Rakyat / LKABER-NTT, LMND Cabang Ende, GMNI Cabang Ende, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi/LMND Eksekutif Kota Maumere / Koordinator Partai Persatuan Pembebasan Nasional/PAPERNAS untuk Kab. Sikka, Justice, Peace and Integrity of Creation / JPIC atau Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Ende / KPKC-KAE menolak dengan alasan: bahwa TNI tidak seharusnya lagi berada di tengah masyarakat karena masalah keamanan telah ditangani oleh institusi POLRI (TNI tidak lagi memiliki fungsi keamanan berdasarkan TAP MPR RI Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri jo Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen) dan sebaiknya TNI berkonsentrasi di wilayah perbatasan dengan negara lain atau terkonsentrasi pada matra laut mengingat Indonesia adalah negara kepualauan; TNI memiliki sejarah kelam di masa orde baru dimana terjadi penindasan terhadap rakyat melaluai security approach (pendekatan keamanan); dan kesejahteraan yang diperlukan oleh masyarakat bukanlah melalui pembentukan Korem.

Dari sedikit hal di atas, ada beberapa poin yang kami cermati yaitu:

Pertama, adanya masalah sengketa kepemilikan lahan, di mana Andreas Baju selaku ketua suku Paumere, Kec. Nangapanda adalah orang yang menghadang pengukuran rencana tanah lokasi dibangunnya Korem sekaligus orang yang pernah bersengketa dengan M. Taher Gedu atas kepemilikan tanah tersebut. Meskipun pengadilan hingga tingkat kasasi telah memenangkan M.Taher Gedu, namun hingga saat ini belum ada eksekusi atas tanah tersebut. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa alasan penolakan dari kalangan warga, merupakan sebab internal persengketaan tanah yang belum selesai sehingga permasalahan sengketa ini akan terus menghambat pembentukan Korem hingga persoalan sengketa ini selesai.

Kedua, keterlibatan keuskupan dalam penolakan pembentukan Korem ini adalah hal yang tidak biasa karena gereja hanya membawa misi-misi keagamaan di wilayahnya dan tidak terlalu jauh masuk ke dalam bidang politik dengan pernyataan bahwa Flores tidak memerlukan adanya institusi militer dan menyatakan bahwa keadaan masyarakat Flores selama ini telah hidup secara aman, damai dan tidak pernah muncul isu akan ada suatu gerakan yang mengancam kesatuan bangsa. Hal ini dapat diindikasikan bahwa terdapat alasan-alasan yang bersifat keagamaan, yakni perasaan ketakutan dari kalangan gereja terhadap pendatang (khususnya beragama Islam) yang mungkin akan menikahi wanita-wanita setempat. Ini artinya akan mengurangi umat gereja dengan berpindahnya agama mengikuti agama suaminya termasuk anak-anak yang akan lahir sehingga jumlah penduduk yang beragama non Kristen/Katholik akan semakin besar.

Dan yang terakhir adalah penolakan-penolakan yang semakin besar dengan didukung oleh keuskupan ini disebabkan oleh pihak TNI tidak dapat menjelaskan dengan baik alasan-alasan untuk mebentuk Korem di wilayah ini. Masayarakat tidak bisa menerima alasan-alasan yang diberikan oleh pihak TNI karena tidak adanya sosialiasi yang benar agar alasan pembentukan Korem ini dapat diterima oleh masyarakat. TNI hanya memberikan alasan yang bersifat “komando” kepada masyarakat sehingga muncul kekhawatiran-kekhawatiran akan terulangnya kembali sejarah pendekatan keamanan yang pernah terjadi di Indonesia. Dengan demikian, secara otomatis mengundang lembaga-lembaga anti kekerasan untuk mendukung penolakan terhadap pembentukan Korem di Kab. Ende.

memang susah untuk menjelaskan kadar sebuah ancaman pada masyarakat. Apalagi kalau ancaman itu tidak terlihat sekarang tetapi (kemungkinan/diramalkan) akan terjadi di masa yang akan datang. Mungkin ini adalah tantangan bagi aparat pertahanan dan keamanan untuk bisa mengamankan tanpa menakutkan.

Tidak ada komentar: